Kelas : 3PA11
NPM : 10511945
I. I. Analisis
Transaksional (Berne)
Teori transaksional
analisis merupakan karya besar Eric Berne (1964), yang ditulisnya dalam buku
Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok
Humanisme. Teori transaksional analisis merupakan teori terapi yang sangat
populer dan digunakan dalam konsultasi pada hampir semua bidang ilmu-ilmu
perilaku. Teori analisis transaksional telah menjadi salah satu teori
komunikasi antarpribadi yang mendasar.
Eric Berne pioner yang menerapkan transaksional analisa dalam psikoterapi.
Dalam terapi ini hubungan konselor dan konseli dipandang sebagai suatu
transaksional (interaksi, tindakan yang diambil, tanya jawab) dimana
masing-masing individu berhubungan satu sama lain. Transaksi menurut Berne merupakan
manivestasi hubungan sosial.
Didalam individu mengadakan interaksi dengan orang lain biasanya didasari
oleh ketiga status ego. Ketiga status tersebut adalah status ego anak, dewasa,
dan orang tua. Tingkatan ini timbul karena adanya pemutaran data kejadian pada
waktu yang lalu dan direkam, yang meliputi orang, waktu, keputusan, perasaan
yang sungguh nyata (Harris, 1987).
Transaksional analisis adalah suatu proses transaksi atau perjanjian yang
mana melalui perjanjian inilah proses terapi akan dikembangkan sendiri oleh
klien hingga proses pengambilan keputusan pun diambil sendiri oleh klien.
A. Konsep Dasar Pandangan Analisis Transaksional Tentang Kepribadian
Adapun konsep pokok
dari transaksional analisis menurut Geral Corey ( 2005 ) adalah
1. Pandangan tentang
Manusia
Transaksional Analisis berakar pada filsafat anti deterministik.
Menempatkan iman dalam kapasitas kita untuk mengatasi kebiasaan pola dan untuk
memilih tujuan-tujuan baru dari perilaku. Namun, ini tidak berarti bahwa kita
bebas dari pengaruh kekuatan sosial. Ia mengakui bahwa kitadipengaruhi oleh
harapan dan tuntutan orang lain yang signifikan, terutama keputusan yang
terlebih dulu dibuat pada masa hidupnya ketika kita sangat tergantung pada
orang lain. Kita membuat keputusan-keputusan tertentu agar dapat bertahan
hidup, baik secara fisik dan psikologis, pada titik tertentu dalam kehidupan.
Tapi keputusan awal ini dapat ditinjau dan ditantang apabila sudah tidak cocok
lagi maka keputusan-keputusan baru dapat dibuat.
Secara keseluruhan dasar filosofis Transaksional Analisis bermula dari
asumsi bahwa semuanya baik atau OK, artinya bahwa setiap perilaku individu
mempunyai dasar menyenangkan dan mempunyai potensi serta keinginan untuk
berkembang dan mengaktualisasikan diri. Di dalam melakukan hubungan dengan
orang lain, sangat perhatian dan mengayomi lawan bicaranya, mengundang individu
lain untuk senang, cocok dan saling mengisi, yang di dalam dasar teori dan
praktek TA disebut I`m OK and you`re OK (Saya Oke dan Anda Oke). Teori Analisis
Transaksional mendasarkan pada decisional model artinya setiap individu
mempelajari perilaku yang spesifik dan memutuskan rencana hidupnya dalam
menghadapi hidup dan kehidupannya.
2. Perwakilan Ego
Transaksional analisis adalah suatu sistem terapi yang berlandaskan teori
kepribadian yang menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang
terpisah; ego anak, ego orang dewasa dan ego orang tua. Status ego adalah
serangkaian perilaku yang terkait dengan pikiran, perasaan, dan perilaku di
mana bagian dari kepribadian seorang individu dimanifestasikan pada waktu
tertentu (Stewart & Joines, 1987). Semua transaksi analis bekerja dengan
status-status ego, yang mencakup aspek penting dari kepribadian dan karakter
pembeda dari TA (Dusay, 1986). Setiap orang memiliki trio dasar Parent, Dewasa,
dan Anak (PAC), dan pergeseran terus-menerus individu dari salah satu status
yang lain, perilaku mewujudkan ego kongruen dengan keadaan saat ini. Salah satu
definisi dari otonomi adalah kemampuan untuk bergerak dengan kelincahan dan
niat melalui ego status dan beroperasi dalam satu yang paling sesuai dengan
realitas situasi tertentu.
3. Skenario kehidupan dan posisi psikologi dasar
Adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan awal
yang dibuat oleh kita sebagai anak dewasa. Pada dasarnya setiap manusia
memerlukan belaian dari orang lain.Dalam teori analisis transaksional sebuah
belaian merupakan bagian dari suatu perhatian yang melengkapi stimulasi yang
optimal kepada individu. Belaian ini merupakan kebutuhan dalam setiap interaksi
sosial dan menyehatkan. Teori Analisis Transaksional menekankan bahwa manusia
memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya
yang terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi
saya OK kamu OK di kedua belah pihak.
B.
Unsur-unsur
Terapi
1.
Munculnya
Gangguan
a.
Ego state child
Pernyataan ego dengan ciri kepribadian anak-anak seperti bersifat manja,
riang, lincah dan rewel. Tiga bagian dari ego state child ini ialah:
a) Adapted
child (kekanak-kanakan). Unsur ini kurang baik ditampilkan saat komunikasi
karena banyak orang tidak menyukai dan hal ini menujukkan ketidak matangan
dalam sentuhan.
b) Natural
child (anak yang alamiah). Natural child ini banyak disenangi oleh orang lain
karena sifatnya yang alamiah dan tidak dibuat-buat serta tidak berpura-pura,
dan kebanyakan orang senang pada saat terjadinya transaksi.
c) Little
professor. Unsur ini ditampilkan oleh seseorang untuk membuat suasana riang
gembira dan menyenangkan padahal apapun yang dilakukannya itu tidaklah
menunjukkan kebenaran.
b.
Ego state parent
Ciri kepribadian yang
diwarnai oleh siafat banyak menasehati, memerintah dan menunjukkan
kekuasaannya. Ego state parent ini terbagi dua yaitu:
a) Critical
parent. Bagian ini dinilai sebagai bagian kepriadian yang kurang baik, seperti
menujukkan sifat judes, cerewet, dll.
b) Nurturing
parent. Penampilan ego state seperti ini baik seperti merawat dan lain
sebagianya.
c.
Ego state adult
Berorientasi kepada fakta dan selalu diwarnai pertanyaan apa, mengapa dan
bagaimana.
2.
Tujuan Terapi
Berner (Palmer,
2000:320) menegaskan bahwa tujuan perlakuan analisis transaksional bukan hanya
untuk memperoleh insight atau kemajuan, tetapi untuk memperolaeh penyembuhan.
Dimana penyembuhan sebagai proses progesif yang berlangsung dalam empat tahap,
yaitu : social control, symptomatic relief, transference cure dan Script cure. Berne
(Corey, 2010:166) menjelaskan bahwa tujuan dasat AT adalah membantu konseling dalam
membuat keputusan baru tentang tingkah laku saat ini dan mengarahkan hidupnya. Inti
dari terapis AT adalah mengganti gaya hidup yang ditandai dengan permainan
manipulative dan scenario-scenario hidup yang dapat mengalahkan diri, dengan
gaya hidup otonom yang ditandai dengan kesadaran, spontanitas dan
keakraban. Hal ini sependapat dengan James dan Jongeward (Corey,
2010:167) yang melihat pencapaian otonomi sebagai tujuan utama analisis
transaksional.
3.
Peran Terapis
Harris (1967) yang dikutip dalam Corey (1988) memberikan gambaran peran
terapis, seperti seorang guru, pelatih atau nara sumber dengan penekanan kuat
pada keterlibatan. Sebagai guru, terapis menerangkan konsep-konsep seperti
analisis struktural, analisis transaksional, analisis skenario, dan analisis
permainan. Selanjutnya menurut Corey (1988), peran terapis yaitu membantu klien
untuk membantu klien menemukan suasana masa lampau yang merugikan dan
menyebabkan klien membuat keputusan-keputusan awal tertentu,
mengindentifikasikan rencana hidup dan mengembangkan strategi-strategi yang telah
digunakannya dalam menghadapi orang lain yang sekarang mungkin akan
dipertimbangkannya. Terapis membantu klien memperoleh kesadaran yang lebih
realistis dan mencari alternatif-alternatif untu menjalani kehidupan yang lebih
otonom.
Terapis memerlukan hubungan yang setaraf dengan klien, menunjuk kepada kontrak terapi, sebagai bukti bahwa terapis dan klien sebagai pasangan dalam proses terapi. Tugas terapi adalah, menggunakan pengetahuannya untuk mendukung klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak spesifik yang jelas diprakarsai oleh klien. Konselor memotivasi dan mengajari klien agar lebih mempercayai ego Orang Dewasanya sendiri ketimbang ego Orang Dewasa konselor dalam memeriksa keputusan–keputusan lamanya serta untuk membuat keputusan-keputusan baru.
Terapis memerlukan hubungan yang setaraf dengan klien, menunjuk kepada kontrak terapi, sebagai bukti bahwa terapis dan klien sebagai pasangan dalam proses terapi. Tugas terapi adalah, menggunakan pengetahuannya untuk mendukung klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak spesifik yang jelas diprakarsai oleh klien. Konselor memotivasi dan mengajari klien agar lebih mempercayai ego Orang Dewasanya sendiri ketimbang ego Orang Dewasa konselor dalam memeriksa keputusan–keputusan lamanya serta untuk membuat keputusan-keputusan baru.
C.
Teknik Terapi
Analisis Transaksional
Sedangkan teknik-teknik
yang dapat dipilih dan diterapkan dalam analisis transaksional, yaitu;
1. Analisis struktural, para klien akan belajar bagaimana mengenali ketiga perwakilan ego-nya, ini dapat membantu
klien untuk mengubah pola-pola yang dirasakan dapat menghambat dan membantu
klien untuk menemukan perwakilan ego yang dianggap sebagai landasan tingkah
lakunya, sehingga dapat melihat pilihan-pilihan.
2. Metode-metode didaktik, analisis transaksional menekankan pada domain
kognitif, prosedur belajar-mengajar menjadi prosedur dasar dalam terapi ini.
3. Analisis transaksional, adalah penjabaran dari yang dilakukan orang-orang
terhadap satu sama lain, sesuatu yang terjadi diantara orang-orang melibatkan
suatu transaksi diantara perwakilan ego mereka, dimana saat pesan disampaikan
diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transaksi yaitu; komplementer, menyilang,
dan terselubung.
4. Permainan peran, prosedur-prosedur analisis transaksional dikombinasikan
dengan teknik psikodrama dan permainan peran. Dalam terapi kelompok, situasi
permainan peran dapat melibatkan para anggota lain. Seseorang anggota kelompok
memainkan peran sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi anggota
lainnya, kemudian dia berbicara pada anggota tersebut. Bentuk permainan yang
lain adalah permainan menonjolkan gaya-gaya yang khas dari ego Orang Tua yang
konstan.
5. Analisis upacara, hiburan, dan
permainan, analisis transaksional meliputi pengenalan terhadap upacara
(ritual), hiburan, dan permainan yang digunakan dalam menyusun waktunya.
Penyusunan waktu adalah bahan penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena
merefleksikan keputusan tentang bagaimana menjalankan transaksi dengan orang
lain dan memperoleh perhatian.
6. Analisa skenario, kekurangan otonomi berhubungan dengan keterikatan
individu pada skenario atau rencana hidup yang ditetapkan pada usia dini
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya di dunia sebagaimana terlihat dari
titik yang menguntungkan menurut posisi hidupnya. Skenario kehidupan, yang didasarkan
pada serangkaian keputusan dan adaptasi sangat mirip dengan pementsan
sandiwara.
II.
II. Rational
Emotive Therapy (Ellis)
Teori Konseling Rasional-Emotif dengan istilah lain dikenal dengan
"Rational-Emotife Therapy" yang dikembangkan oleh DR.Albert Ellis, seorang
ahli Clinecal Psychology(Psikologi Klinis). Sekitar tahun 1943, dia mulai
membuka praktek dalam bidang konseling keluarga, perkawinan dan seks. Pada
praktiknya ini Dr. Albert Ellis banyak mempergunakan prosedur sikoanalisa dari
freud, tetapi setelah berlangsung beberapa lama Albert Ellis banyak menemukan
ketidakpuasan dalam praktiknya yang mengginakan prosedur psikoanalisa dari
freud. Atas dasar pengelaman selama praktiknya dan kemudian dihubungkan dengan
teori tingkah laku belajar, maka akhirnya Albert Ellis mencoba untuk
mengembangkan suatu teori yang disebut " Rational-Emotife Therapy",
dan selanjutnya lebih populer dengan singkatan RET.
A.
Konsep Dasar
Pandangan Rational Emotive Therapy Tentang Kepribadian
Rational Emotive Therapy adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi
bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur
maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki
kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan
mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan
mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki
kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran,
berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan,
takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari
pertumbuhan dan aktualisasi diri. Memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk
merusak diri sendiri, menghindar dari memikirkan sesuatu , menunda-nunda,
berulang-ulang melakukan kesalahan, dan
lain-lain.
RET menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi
aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan
pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk
mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat,
dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang
diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain. RET
menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan.
Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya
dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan
secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai
makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan,
untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah
diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk
mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya,
mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa
lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya
berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
Unsur pokok RET adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses
yang terpisah Menurut Ellis, Pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling
bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi
disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan
dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik.
Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu
dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata
lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengarulu pikiran.
Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu
dapat berubah menjadi pikiran.
Pandangan yang penting dari teori rasional-emotif adalah konsep hahwa
banyak perilaku emosional individu yang berpangkal pada “self-talk:” atau
“omong diri” atau internatisasi kalimat-kalimat yaitu orang yang menyatakan
kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya
orang-orang yang seperti itu, menurut Eilis adalah karena: (1) terlalu bodoh
untuk berpikir secara jelas, (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana
berpikir secara cerdas tetapi tidak tahu bagaimana herpikir secara jelas dalam
hubungannya dengan keadaan emosi, (3) orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan
tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan seeara
memadai.
Neurosis adalah pemikiran dan tingkah laku irasional. Gangguan-gangguan
emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan melalui
reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab masalah-masalah
emosional. Oleh karenanya, klien ditantang untuk menguji kesahihan
keyakinan-keyakinan tertentu. Metode ilmiah diterapkan pada kehidupan
sehari-hari.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk
tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang
buruk. Ellis menyatakan bahwa "gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas
kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa
disahihkan, yang diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik terhadapnya, orang
yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah".
Rational
Emotive Therapy(RET) berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat,
kita cenderung menjadi korban dari gagasan-gagasan yang keliru, cenderung
mendoktrinasi diri dari gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara
yang tidak dipikirkan dan autsugestif, dan kita tetap mempertahankan
gagasan-gagasan yang keliru dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan
irasional yang menonjol yang terus menerus diinternalisasikan dan tanpa dapat
dihindari mengakibatkan kesalahan diri.
B.
Unsur-Unsur
Terapi
1.
Munculnya
Gangguan
Masalah yang dihadapi
klien dalam pendekatan Konseling Rasional-Emotife itu muncul disebabkan karena
ketidaklogisan klien dalam berfikir. ketidaklogisan berpikir ini selalu
berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan gangguanatau kesulitan emotional
dalam melihat dan menafsirkan objek atau fakta yang dihadapinya.
Menurut konseling
rational emotif ini, individu merasa dicela, diejek dan tidak diacuhkan oleh
individu lain kerena ia memiliki keyakinan dan berpikir bahwa individu lain itu
mencela dan tidak mengacuhkan dirinya.
2.
Tujuan Terapi
Tujuan
utama dari konseling rational emotif ialah menunjukkan dan menyadarkan klien
bahwa cara berpikir yang tidak logis itulah merupakan penyebab gangguan
emosionilnya. konseling rational emotif ini bertujuan membantu klien
membebaskan dirinya dari cara berpikir atau ide-idenya
yang tidak logis dan menggantinya dengan cara-cara yang logis.
3.
Peran Terapis
Aktifitas-aktifitas
therapeutic utama Rational Emotive Therapy dilaksanakan dengan satu maksud
utama, yaitu : membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang
tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya.
Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang
rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang
rasional dan takhyul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
Untuk mencapai tujuan
tersebut di atas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik yaitu :
a. Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional
yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
b. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
c. Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
d. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan
irasional klien.
e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana
keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah
laku di masa depan.
f. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran
klien.
g. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan
gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris.
h. Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara bepiki
sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan iasional dan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekaang maupun masa yang akan datang,
yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.
C.
Teknik Terapi
Rational Emotive Therapy
Dalam RET, terdapat
tiga teknik yang besar: Teknik-teknik Kognitif; Teknik-teknik Emotif dan
Teknik-teknik Behavioristik.
1. Teknik-Teknik Kognitif
Teknik-teknik kognitif
adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien. Dewa Ketut
menerangkan ada empat teknik besar dalam teknik-teknik kognitif :
a. Teknik Pengajaran
- Dalam RET, konselor mengambil peranan lebih aktif dari klien. Teknik ini
memberikan keleluasan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu
kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidaklogisan berfikir itu secara
langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.
b. Teknik Persuasif
- Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya kerana pandangan yang ia
kemukakan itu tidak benar. Konselor langsung mencoba meyakinkan, mengemukakan
pelbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah
tidak benar.
c. Teknik
Konfrontasi - Konselor menyerang ketidaklogisan berfikir klien dan membawa
klien ke arah berfikir yang lebih logik.
d. Teknik Pemberian
Tugas - Konselor memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan
tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul
dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau
membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
2. Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik emotif
adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Antara teknik yang
sering digunakan ialah:
a. Teknik Sosiodrama - Memberi peluang
mengekspresikan pelbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang
didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya
sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.
b. Teknik 'Self
Modelling' - Digunakan dengan meminta klien berjanji dengan konselor untuk
menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia pada janjinya.
c. Teknik 'Assertive
Training' - Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan
pola perilaku tertentu yang diinginkannya.
3. Teknik-Teknik Behavioristik
Teknik ini khusus untuk
mengubah tingkah laku pelajar yang tidak diingini. Antara teknik ini ialah:
a. Teknik
Reinforcement - Mendorong klien ke arah perilaku yang diingini dengan jalan
memberi pujian dan hukuman. Pujian pada perilaku yang betul dan hukuman pada
perilaku negatif yang dikekalkan.
b. Teknik Social
Modelling - Digunakan membentuk perilaku baru pada klien melalui peniruan,
pemerhatian terhadap Model Hidup atau Model Simbolik dari segi percakapan dan
interaksi serta pemecahan masalah.
Berdasarkan kepada penjelasan teknik di atas, dapat dilihat bahawa teknik terapi
TRE ini bukan saja terbatas pada sisi konseling, tetapi juga berlaku di luar
sesi konseling.
III. III.
Terapi Perilaku
(Behavior Therapy)
A. Konsep Dasar Padangan Terapi Perilaku Tentang Kepribadian
Terapi tingkah laku adalah
pendekatan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berlandaskan pada
berbagai teori tentang belajar dalam usaha melakukan pengubahan tingkah laku.
Dalam penyelesaian masalah, kondisi masalah harus dispesifikkan. Saat ini,
bentuk pendekatan ini banyak di gunakan karena penekanannya pada perubahan
tingkah laku dimana tingkah laku tersebut bisa didefinisikan secara
operasional, diamati dan diukur.
Sebelum kita mengulas tentang proses
dan penerapan dari terapi ini, kita perlu tahu pandangan dasar dari terapi ini
pada manusia itu sendiri. Dimana landasan pijakan terapi tingkah laku ini yaitu
pendekatan behavioristik, pendekatan ini menganggap bahwa “Manusia pada
dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap
tingkah laku manusia itu dipelajari”. Ini merupakan anggapan dari behavioristik
radikal. Namun behavioristik yang lain yaitu behavioristik kontemporer, yang
merupakan perkembangan dari behavioristik radikal menganggap bahwa setiap
individu sebenarnya memiliki potensi untuk memilih apa yang dipelajarinya. Ini
bertentangan dengan prinsip behavioris yang radikal, yang menyingkirkan
kemungkinan individu menentukan diri. Namun, meskipun begitu, kedua
behaviorisme ini tetap berfokus pada inti dari behaviorisme itu sendiri yaitu
bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan
tingkah laku mereka.
a.
Classical conditioning merupakan pengkondisian klasik yang
melibatkan stimulus tak terkondisi (UCS) yang secara otomatis dapat
membangkitkan respon berkondisi (CR), yang sama dengan respon tak berkondisi
(UCR) bila diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi (UCS). Contohnya, jika
kita memberikan makanan kucing (UCS) maka membangkitkan air liur kucing (UCR).
Berikutnya, ketika setiap kita memberikan makanan pada kucing (UCS) sambil
membunyikan bel (CS) maka kucing akan mengeluarkan air liur (UCR) karena diberi
makanan. Jika hal tersebut dilakukan berulang kali, berikutnya saat kita
membunyikan bel (CS) maka secara otomatis kucing akan mengeluarkan air liur
(CR). Hal inilah yang dinamakan proses pembelajaran yang dikarenakan asosiasi.
b.
Operant Conditioning merupakan pengondisian instrumental
yang melibatkan ganjaran (reward atau punishment) kepada individu atas
pemunculan tingkah lakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul.
Contohnya, jika kita ingin membuat seorang anak mengurangi kebiasaan bermain
games dan meningkatkan intensitas belajarnya. Maka pertama kita harus membuat
anak betah duduk di meja belajarnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
memberikan anak pujian (reinforcement) setiap dia duduk di kursi belajarnya.
Bila intensitas waktu anak untuk duduk di kursi belajarnya dan belajar maka
reinforcement di tingkatkan, mungkin dengan mengganti pujian dengan hadiah.
Tindakan tersebut dilakukan hingga menjadi kebiasaan rutin anak.
B. Unsur-unsur Teori
1. Munculnya Gangguan
Dimana landasan pijakan terapi tingkah laku ini yaitu
pendekatan behavioristik, pendekatan ini menganggap bahwa “Manusia pada
dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap
tingkah laku manusia itu dipelajari”. Ini merupakan anggapan dari behavioristik
radikal. Namun behavioristik yang lain yaitu behavioristik kontemporer, yang
merupakan perkembangan dari behavioristik radikal menganggap bahwa setiap
individu sebenarnya memiliki potensi untuk memilih apa yang dipelajarinya. Ini
bertentangan dengan prinsip behavioris yang radikal, yang menyingkirkan
kemungkinan individu menentukan diri.
2. Tujuan Terapi
Tujuan umum yaitu menciptakan kondisi baru untuk belajar. Dengan
asumsi bahwa pemeblajaran dapat memperbaiki masalah perilaku. Sedangkan terapi
perilaku kontemporer menekankan peran aktif klien dalam menentukan tentang
pengobatan mereka.
3. Peran Terapis
Terapis
behavior harus memainkan peran aktif dan direktif
dalam pemberian treatment yaitu dalam penerapan pengetahuan ilmiah dalam
memecahkan masalah-masalah para kliennya. Secara khasnya, terapis berfungsi
sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang
maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan
mengarah pada tingkah laku yang baru. Fungsi penting lainnya adalah peran
terapis sebagai model bagi klien. Bandura mengungkapkan bahwa salah satu proses
fundamental yang memungkinkan klien bisa
mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau pencontohan sosial yang
disajikan oleh terapis. Karena klien sering memandang terapis sebagai orang
yang patut diteladani, klien sering kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan, dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus
menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi dari
klien. Terapis yang tidak menyadari kekuatan yang dimilikinya dalam
mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan bertindak kliennya, berarti
terapis mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri dalam proses terapi.
C. Teknik Terapi Perilaku
1. Training
Relaksasi, merupakan
teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari,
yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah
tinggi dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini
sebagai relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan
mengambil posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan
otot secara bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik nafas yang
dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
2. Desensitisasi
Sistemik, merupakan
teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan
pada penanganan situasi penghasil kecemasan seperti situasi interpersonal,
ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi,
kecemasan-kecemasan neurotik serta impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini
melibatkan relaksasi dimana klien dilatih untuk santai dan keadaan-keadaan
santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau
yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang
sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan
stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan
stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara
stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.
3. Latihan
Asertif, merupakan
teknik terapi yang menggunakan prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi.
Latihan asertif ini akan membantu bagi orang-orang yang:
a.
Tidak mampu mengungkapkan kemarahan/perasaan
tersinggung
b.
Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu
mendorong orang lain untuk mendahuluinya
c.
Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’
d.
Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan
respon-respon positif lainnya
e.
Merasa tidak punya hak untuk memiliki
perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri
Fokus terapi ini adalah
mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan
peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya
dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara
terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi
yang terbuka itu.
4. Pencontohan
(modelling methods), melalui
proses pembelajaran observasi, para klien dapat belajar untuk melakukan
tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar trial-and-error. Teknik
dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya, seseorang yang takut
ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi dengan melihat orang
lain yang tidak takut menghadapi ular.
5. Self-Management
Programs, Teknik ini
mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku, dengan
asumsi bahwa klienlah yang paling tau apa yang mereka butuhkan. Konselor yang
mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak, disini konselor
merupakan mediator. Self-Directed Behavior, merupakan teknik dimana
perubahan perilaku diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah harus merasa
bahwa terapi ini penting untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, dalam masalah
obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu misalnya meminta klien untuk
menuliskan program perubahan dirinya dalam diari. Jam berapa dan berapa kali ia
akan makan. Jika ia tidak berhasil, ia harus menuliskan perasaan dan
sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya. Atau jika program telah dijalankan,
klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri misalnya pergi shopping.
6. Multimodal
Terapi, didasarkan
pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien selama
terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami masalah
lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior, affective
respons, sensations, images, cognitions, interpersonal relationships, dan
drugs/biology).
SUMBER
:
Singgah
D. Gunarsah, konseling dan psikoterapi, Jakarta :Gunung Mulia, 2000
Corey,
Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
Bandung: PT Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar