Nama : Annida Putriga
Kelas : 3PA11
NPM : 10511945
ADA ASA DI UJUNG PUNTUNG ROKOK
"Kamu bisa membeli buku seperti yang saya pegang
ini di Gramedia." ucap dosenku saat hari pertama
aku menjadi seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta. Aku
memperhatikan buku yang di tunjukan oleh dosen wanita yang sangat lembut.
Beliau adalah dosen di mata kuliah Bahasa Indonesia. Kemarin atau masih saat
ini aku simpan cita-cita menjadi seorang sastrawati atau penyair yang
berhubungan dengan Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun aku urungkan cita-cita
itu, tapi bukan aku kubur melainkan aku simpan dan aku akan berharap semoga
kelak apapun jurusan yang aku pilih, aku tetap ingin menjadi seorang sastrawati
dan menciptakan sebuah karya. ITU MIMPIKU.
***
"Bunda, bisa antar aku beli buku di Gramedia minggu ini ?" tanyaku pada Ibuku
"Buku apa ?"
"Buku Bahasa Indonesia judulnya Bangga Berbahasa
Indonesia." senyumku berkembang
"Mau beli dimana ?"
"Di Gramedia
bun."
"Sendiri bisa ? Bunda
sibuk Nak."
"Emmm yaudah deh." jawabku tak mau banyak
mengeluh. Jika Bunda
tidak bisa maka aku tidak ingin memaksa.
Aku kembali membuka novelku untuk melanjutkan
bacaanku.
***
Minggu pagi aku berangkat ke Gramedia Matraman
dengan menggunakan angkutan umum. Sendiri. Sampai di dalam bus, aku melihat
pengamen yang sedang bernyanyi. Aku mengamati pengamen itu. Perawakannya
sedang, wajahnya pun lebih cocok untuk menjadi anak yang ada di dalam mobil
mewah dan tidak seharusnya panas-panasan serta meronta-ronta kesana-kemari
untuk mencari uang. Cocok sebagai anak bos. Dia bernyanyi sambil
memainkan gitar yang dia bawa. Dengan alunan yang indah, dia menyanyikan sebuah
lagu dari Ebiet G. Ade
dengan judul Berita Kepada Kawan.
Aku tersentuh karena memang lagu itu sangat indah di dengar.
"Permisi Teh."
ucap pengamen itu sambil menyodorkan kantong plastik yang ia tenteng untuk
meminta haknya karena ia sudah bernyanyi untuk menghibur.
"Oh iya maaf Dek."
ucapku kaget dari lamunanku dan arah mataku ke jendela bis kota itu sambil
mengeluarkan uang receh di dalam tasku
"Terima kasih
teteh." ujar pengamen tersebut dengan senyuman
Jika aku perkirakan, anak itu berumur belasan.
Mungkin dia SMP atau awal masuk SMA. Tapi itu tidak penting buatku. Pada
intinya untuk mencari makan saja mungkin susah. Namanya hidup di kota Jakarta.
Aku turun pas di depan Gramedia Matraman. Dan setelah itu aku lanjut ke Pasar Senen. Jam sudah menunjukan waktu siang. Ketika
aku sedang mencari makan, mataku kembali melihat sosok pengamen yang tadi pagi
aku lihat di bis. Namun aku mengabaikannya karena itu tidak penting buatku. Aku
kembali mencari tempat makan. Aku lebih memilih makan di emperan dengan menu
seperti biasa saja. Cukup ketoprak dan es teh manis. Itu sudah membuat aku
sangat menikmatinya.
Ketika aku sedang memesan dan memilih duduk di
pojokan, aku memainkan handphoneku. Ada 3 sms dan 3 kali panggilan. Aku
membukanya.
"Hati-hati dijalan yah Adee." pesan dari Bundaku
"Beli buku buat kuliah dulu, jangan Novel
yah." pesan dari Kakak ku
"Adee hati
hati di jalan
pulangnya jangan kesorean yah." pesan dari Ayahku
yang selalu tanpa titik atau koma atau tanda yang lainnya. Aku hanya
tersenyum dan membalas semua pesan itu. Ketika aku sedang menikmati hidangan
itu. Aku kembali melihat sosok pengamen itu. Kali ini dia sedang berbicara
dengan Ibu-ibu tukang ketoprak yang aku pesan. Pengamen
itu melihat ke arahku dan tersenyum manis. Kemudian dia berjalan ke arahku dan
duduk di hadapanku.
"Saya boleh duduk disini Teh ?" tanya dia dengan sopan dan ramah
"Oh.. boleh
kok, silakan saja." jawabku
"Teteh dari toko buku ?"
"Iya, kamu sebenernya siapa Dek ? kamu anak Ibu itu
?" tanyaku
"Oh bukan Teh, saya
cuman nabung sama Ibu
itu." jawab dia dengan santai
"Nabung ?" tanyaku masih engga mengerti.
"Ya setiap saya selesai mengamen, saya selalu
nabung dengan Ibu
itu."
"Terus uangnya untuk apa ?" tanyaku.
"Untuk adik ku sekolah." jawab dia. Perbincangan kita
seperti kita sudah saling kenal satu sama lain. Dia mulai bercerita sambil ngisap puntung rokoknya.
***
"Saya merawat anak perempuan Teh, sebenernya dia bukan adik saya." awal
dia bercerita
"Terus ?"
"Dia saya temuin di pinggir jalan waktu saya
pulang ngamen jam satu malem."
Hening.
Aku terdiam. Dan dia masih mengisap rokoknya.
"Dia menangis, saya iba mendengar tangisan itu.
mungkin umur dia saat itu masih terbilang 2 tahunan. akhirnya saya
menggendongnya dan tak tau harus di taro dimana saat itu. Saya engga punya
rumah, saya engga punya duit. tapi yang saya fikirkan bukan itu, yang ada dalam
pikiran saya saat itu adalah bagaimana saya bisa menghentikan tangisan itu
hingga ia terlelap tidur."
"Emmm lalu ?" tanyaku masih penasaran
“Lalu saya membawanya ke tempat biasa saya
berteduh. Saya berusaha untuk menghentikan tangisannya dengan yang saya bisa.”
“Terus kenapa kamu mau menolong anak itu ?”
pertanyaan yang konyol mungkin.
“Sebelum saya menemukan anak itu dan selama saya
hidup, saya engga akan pernah tau arti dari berbagi.” Jawab pengamen itu sambil
mengisap rokoknya dalem-dalem.
“Meski saya engga punya apa-apa tapi saya senang
dan bahagia bisa memberi sesuatu kepada orang lain.” Lanjut dia
“ Terus apa yang ada dalam pikiran kamu ?”
“Tuhan masih ngasih saya anggota tubuh yang
sempurna, dan saya engga mau menyia-nyiakan itu. Yang terpenting dalam hidup
saya adalah saya bisa membuat orang bahagia dan bisa bermanfaat untuk
orang-orang di sekeliling saya meski awalnya saya hanya seorang diri.”
Aku terdiam. Aku masih engga mengerti dengan
apa yang diceritakan pengamen tersebut. Aku diam seperti orang bodoh. Apa
maksud dia menghampiriku ? kemudian menceritakan semua tentang hidupnya
kepadaku ? apa dia ingin aku iba kepadanya ? aku masih engga mengerti. Tapi
selama dia tidak berbuat jahat, aku akan tetap mendengarkan semua cerita dia.
“Terus kenapa engga kamu aja yang sekolah ?”
tanyaku
“Untuk saya itu engga penting, karena saya tau
bahwa ada yang lebih membutuhkan daripada saya Teh.”
“Emang kalau kamu sekolah, kamu kelas berapa ?”
“Jangankan umur atau kelas, nama saya aja saya
engga tau.”
“Loh kok gitu ? orang tua kamu kemana emang ?”
“Engga tau gimana kejadiannya, tiba-tiba saya ada
di bawah
pohon. Apa mungkin saya di buang
oleh orang tua saya. Pada intinya tiba-tiba saya menyadari bahwa saya hanya
seorang diri.”
Aku menunduk mendengar perkataan dia yang
terakhir. “Tiba-tiba
saya menyadari bahwa saya hanya seorang diri”. Kalimat
itu membuat hati saya berdegup kencang. Aku segera merogoh tasku untuk
mengambil sapu tangan sebelum air mata ini bener-bener meleleh. Tapi terlambat,
aku tak bisa membendung air mataku.
Dan aku biarkan mengalir di depan pengamen itu. Mengalir tanpa aku hapus dan
aku masih menunduk.
“Kenapa Teteh
menangis ?” tanya dia sambil menyodorkan tissue untukku. Aku melirik tangannya
yang memegang tissue untukku. Aku mengambilnya dan mulai mengapus air mataku dengan tissue itu.
“Kamu hebat.” Ucapku lirih
“Tuhan yang telah mengatur jalan hidup saya.”
“Saya tau, Tuhan
memberi saya jalan untuk menjadi seorang diri, kemudian Tuhan kasih saya jalan untuk bertemu anak itu
dan Tuhan membisikan saya untuk membantu agar hidup
saya tidak pernah sia-sia dan bermanfaat untuk orang lain.” Lanjut dia.
Tenggorokan aku mulai tersendat. Tiba-tiba aku bener-bener seperti orang bodoh
dihadapan pengamen itu. Mataku mulai berair lagi. Aku ingat, waktu aku menangis
karena merasa kesepian. Aku engga pernah bersyukur.
“Untuk apa Teh
menangis ? menangis pun tidak akan pernah bisa merubah keadaan.”
“Aku hanya terharu.”
“Teteh pernah denger lagu Sherina yang judulnya ku bahagia ?” tanya dia
“Pernah, sering malah.” Jawabku
“Saya nyanyiin yah teh.” Ucap pengamen itu sambil
mengambil gitarnya dan bernyanyi dihadapanku.
***
“Walau
makan susah, walau hidup susah, walau tuk senyumpun susah, rasa syukur ini
karena bersamamu juga susah dilupakan. Oh aku bahagia.”
Ternyata jam tanganku menunjukan pukul 16.00.
Dan ketika aku melihat handphoneku sudah ada 7 panggilan tak terjawab dan 4
sms. Berbagi dengan pengamen itu memakan waktu 3 jam. Tapi itu bukan hal yang
sia-sia karena aku mendapat pelajaran berharga.
“Udah sore Dek, aku
harus pulang.” Ucapku
“Maaf sudah menyita waktu Teteh.” Kata dia sambil menyalakan rokoknya
untuk kesekian kali
“Kamu perokok berat yah ?” tanyaku
“Karena saya percaya Teh bahwa ada asa di setiap puntung rokok
hahahahahaha..”
Pengamen itu mengajak bercanda
Aku diantar dia sampai aku mendapatkan bis
untuk pulang ke rumah.
Dia berdiri mematung sambil mengucap terima kasih dan selamat tinggal. Ketika
aku sudah naik ke dalam bis, aku mencari tempat kosong. Aku lebih memilih pojok
jendela. Pengamen itu masih berdiri sambil melihat ke arahku. Aku tersenyum dan
melambaikan tangan. Dan dia juga melakukan hal yang sama. Pelajaran yang aku
dapat, meski dalam keadaan apapun kita harus bersyukur. Menggunakan apa yang
sudah Tuhan hadiahkan dengan sebaik mungkin karena
itulah hadiah termahal yang Tuhan
beri. Pengamen itu rela mencari uang untuk menyekolahkan anak perempuan yang ia
temukan, bukan adik, bukan keluarga, bukan sodara, tapi ia sudi untuk menolong
dan menyelamatkan masa depannya. Pengamen itu tetap bahagia dan menggunakan
keadaan yang ada dengan rasa syukur dan bahagia. Kuncinya dengan menolong, kita
bahagia. Dengan membantu, pintu hati kita akan selalu terbuka. Aku bahagia
karena aku pulang dengan membawa pelajaran berharga. Dan aku ingat pesan
terakhir dia, “Buat saya
yang paling seneng adalah bisa berbagi karena dengan berbagi senyum kita tak
akan pernah luntur.”
Aku berjanji, jika aku punya waktu luang aku
akan kembali menemui pengamen itu. Dan
bodoh sekali orang tuanya yang telah membuang dia, karena ternyata dia tumbuh
menjadi laki-laki yang mandiri dan hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar