- NAMA : ANNIDA PUTRIGA
- NPM : 10511945
- KELAS : 1PA07
1.Sebuah Perkenalan
Aku masih terdiam. Tangan kananku
masih menggenggam brosur Lomba Menulis Sejarah KH Noer Alie Pahlawan Nasional Asal Bekasi. Aku melirik kedua
temanku, Rianti dan Mumun yang sedang berbincang di pendopo saat jam kursus
mengetik dibatalkan. Aku berjalan menuju kedua temanku dan menunjukkan brosur kepada
mereka.
“Mengikuti lomba ini adalah ide yang bagus, bukan?”
kataku sambil tersenyum. Kedua temanku masih terdiam sambil membaca brosur yang
aku berikan.
“Kita bertiga maksud ente?” tanya Rianti dengan
wajah yang sedikit kaget.
“Iya, kita bertiga, mau?” tanyaku
lagi.
“Tapi, gimana caranya?” Ternyata Mumun
masih bingung.
“Mudah kok. Di brosur ini ada
nomor
telepon
panitia yang bisa kita hubungi. Gimana?” Aku masih keukeuh
untuk membujuk kedua temanku.
“Ya udah, boleh deh. Ana bantuin ente
aja yah, Nida?” kata Rianti.
Rencananya, aku dan kedua
temanku adalah menghubungi salah satu panitia lomba menulis itu pada Minggu
pagi.
“Ayo, cepat! Wartelnya sudah
buka. Nanti kalo siang pasti ngantri,” ucap Rianti
bersemangat. Aku dan kedua temanku berjalan dari asrama menuju depan madrasah.
“Ente aja yang ngomong yah, Nida?” kata Mumun.
“Eh, jangan ana dong. Ana malu, nih,” ucapku sambil
melirik Rianti.
“Apa liat-liat ana ?” Rianti langsung protes saat
aku melirik ke arahnya.
“Udah, Nida aja
yang
ngomong. Engga usah malu kali,” ucap
Mumun
mendukungku.
“Oke deh,” jawabku.
Setelah delapan digit angka kutekan,
aku menunggu seseorang yang di sana untuk mengangkatnya.
“Halo! Assalamualaikum. Maaf kak, saya
mengganggu. Ini bener kak Ihya, panitia Lomba Menulis KH Noer
Alie ?” salamku setelah nadanya tersambung.
“Waalaikumusalam. Iya bener. Saya Ihya.”
“Emm, maaf Kak. Saya Annida, mau tanya
tentang lomba menulis, Kak,” tanyaku dengan
gugup. Setelah kakak itu menjelaskan mengenai lomba tersebut, aku mengakhiri
perbincangan itu.
“Oh, gitu yah, Kak? Sebelumnya saya
mohon maaf jika mengganggu dan terima kasih banyak yah, Kak?” ucapku penuh
hormat.
“Oh, iya Neng, sama-sama. Selamat menulis, yah!”
Kak Ihya sangat mendukungku untuk ikut lomba tersebut karena
sejauh ini dia mengatakan bahwa pelajar masih minim yang mengikuti lomba.
“Terima kasih, Kak. Asalamualaikum,” salamku untuk
mengakhiri dan ia pun menjawabnya.
Itulah gambaran awal sekali
aku mengenal suamiku, bermula dari acara lomba menulis. Setelah aku
lulus dari Pondok Pesantren Attaqwa Putri tercinta, aku
mulai merancang karya. Akan tetapi, aku mendapatkan
banyak kesulitan, mulai tugas kampus yang seabrek, tak
memiliki data yang representatif, hingga terpisah dari kedua temanku. Rianti sudah
belajar ke Pare, Kediri, sedangkan Mumun kuliah di Ciputat. Aku pun
merasa tidak
percaya diri bila harus aku sendiri yang mengikutinya.
Sebulan setelah itu, aku mendapat
pesan dari Kak Ihya, “Asalamualaikum, Neng Nida. Bagaimana dengan
tulisannya? Udah sampe di mana ?”
“Waalaikumusalam. Maaf, Kak. Saya engga jadi
ikut,” jawabku.
“Yah, kenapa, Neng? Kecewa deh saya.”
“Kedua teman saya udah pada mencar kuliahnya, yang satu di Ciputat
dan yang satu lagi kursus di Pare. Saya engga pede kalo harus ikut sendiri dan
kebetulah bahan yang saya dapatkan baru sedikit,” jelasku
panjang lebar.
“Saya bantu yah, gimana?”
Tawaran tersebut tidak juga membuat aku tergiur
karena jujur saja aku benar-benar tidak percaya diri bila
harus ikut sendiri.
“Maaf, Kak. Bukan saya engga
mau, tapi gimana yah, Kak, saya bener-bener engga pede.”
“Ya udah deh. Selamat beraktivitas aja yah, Neng! Ingat, pengumpulan
naskah masih empat bulan lagi dan kamu masih bisa berubah pikiran,” bujuk Kak Ihya
penuh semangat. Namun aku hanya diam dan mengucap terima kasih.
Begitu hebat dia memberi aku semangat
untuk tetap ikut lomba. Bahkan, dia juga memberi tahu aku
tentang hadiahnya
yang
menggiurkan. Tapi, entah mengapa aku tetap bergeming dan selalu
mengatakan bahwa aku tidak percaya diri bila harus ikut seorang diri.
Lambat laun, perbincangan kami
tidak hanya berpusat kepada lomba tersebut. Aku mulai banyak bertanya tentang
apa saja kepadanya. Salah satunya adalah seputar ajaran maupun hukum Islam.
Pernah suatu ketika, karena kebetulan aku kuliah tidak hanya bersama orang yang
seagama denganku, ada satu pertanyaan yang aku ajukan terhadapnya. Aku
bertanya melalui pesan yang aku kirim, lalu lima menit kemudian aku mendapat
balasannya.
“Pertanyaan kamu membutuhkan jawaban yang panjang dan kudu jelas masalahnya. Ini berkaitan
dengan agama.”
Seperti itulah pesan yang aku baca.
“Bagaimana kalo Kakak kirimi jawaban melalui email
saja ? Atau kalo kita ketemuan aja, gimana?”
“Ya deh, boleh,” aku menjawab seadanya meskipun hatiku
agak bergetar menerima tawaran itu.
2. Pertemuan
Aku masih saja mematung di depan cermin, melihat siapa
diriku. Aku memang bukan gadis cantik
yang diimpikan banyak orang. Namun, aku selalu bersyukur karena Allah SWT menyempurnakan organku untuk mampu melihat,
mendengar, dan berbicara. Aku juga termasuk gadis beruntung karena Allah SWT masih memberiku kemampuan untuk melanjutkan
kuliah.
Meski begitu, rasa syukurku membuat aku tidak cepat puas. Aku yakin, “Jika kita
bersyukur, Allah akan menambahkan nikmat-Nya bagi kita.” Aku membetulkan
jilbabku dan tersenyum.
“Nida, Lo lama banget sih!” teriak temanku.
“Iya, sebentar,” jawabku senyum mengembang di depan cermin.
“Lama banget dandannya? Hmm, mentang-mentang mau
ketemu emmmm…,” ledek temanku sambil menjerengkan mata.
“Apaan sih, Lo?” kataku masih
dengan senyum tersungguing.
Setelah
mengantarku ke sebuah mal di daerah Bekasi, dia kembali pulang. Dengan gontai, aku
berjalan memasuki mal.
Jujur saja, aku tidak
terlalu suka pergi ke mal. Aku terus berjalan dan mencari-cari sosok yang ingin kujumpai sore
itu.
“Oh, kamu yang
namanya Nida?” awal sapanya berjumpa.
“Iya. Ini Kak Ihya?” tanyaku agak sedikit
malu.
“Tentang lomba
itu, kamu masih mau ikut?”
tanyanya lagi.
“Engga, Kak,” jawabku singkat.
Saat itu, ia menjawab semua pertanyaanku. Aku diam mendengarkan. Tidak banyak kata yang aku keluarkan. Setelah
panjang lebar menjelaskan, kami sedikit bercerita urusan pribadi.
“Oh iya, gimana hubungan
kamu dengan dia?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.
“Ah, saya diduain, Kak.”
Aku sedikit males untuk
membahas masalah itu lagi dan sepertinya engga perlu lagi dibahas. Dia pasang
raut wajah kaget. Tapi, aku tetap mencoba tersenyum.
“Mmm, kalo begitu
sekarang kamu free dong?” tanyanya dengan senyum
yang sulit aku tebak. Tidak mengira sebelumnya jika dia bertanya seperti itu.
“Bisa dibilang
seperti itu,
Kak,” jawabku sekenanya.
“Oke, saya sudah
paham sekarang,” ucapnya. Kata-katanya membuat saya bingung.
3. Ekspresi Hati
Tiga hari setelah
pertemuan itu, kami berdua memang tetap berkomunikasi melalui
handphone. Tapi unik, ia mengutarakan heart expression-nya melalui bundaku. Ia mengatakan
bahwa He likes me. Bukan hanya itu,
ia juga mengatakan bahwa
He wanted me seriously. Aku kaget bukan
main. Aku ini masih bau kencur, lalu mengapa dia ingin serius denganku? Jelas saja aku tidak percaya. Aku pun
mengabaikan
hal itu.
“Aku
tidak percaya, Bun,” protesku.
“Bener, Ade. Kak
Ihya nelepon Bunda
dan dia bilang bahwa dia menyukai kamu,” bundaku menjelaskan.
“Mungkin
suka aja kali, Bun,” aku
masih keukeuh tak percaya.
“Tapi
dia bilang sama Bunda, ingin serius sama kamu.”
“Tapi,
Bunda, Kak Ihya
engga bilang apa-apa sama aku.”
Seperti itulah aku tahu bahwa ia ingin serius
denganku. Aku tidak pernah berpikir untuk itu, apalagi untuk
lebih
serius. Sungguh di luar dugaanku.
“Saya emang mau serius sama
kamu,” ucapnya padaku
suatu hari.
“Kenapa Kakak memilih saya?”
“Karena kamu masih muda. Pandai berkarya
pula,”
ucapnya mantap. Aku masih terdiam.
“Saya inget pesan Kiai Nur (Pimp. Ponpes Attaqwa Pusat Putera). Kalo mau cari istri
itu yang muda karena pertumbuhan biologis seorang wanita itu lebih cepat
ketimbang laki-laki. Saya engga mau nantinya istri saya lebih tua dari saya
meskipun umurnya tetap tuaan.”
“Tapi pengalaman saya masih sedikit, Kak.
Saya
belum bisa apa-apa. Saya masih terlalu muda untuk Kaka.”
“Segala sesuatu itu butuh proses, Neng. Yang penting saya
nyaman sama kamu. Wajah kamu itu engga ngebosenin.”
“Tapi saya bukan gadis sempurna. Saya memiliki
banyak kekurangan. Saya merasa engga cocok dengan Kakak.”
“Kamu inget kemaren kamu bilang ke saya bahwa di dunia
ini engga ada yang sempurna. Kamu pernah bilang, jika di dunia ini
semua sama, tidak akan ada warnanya.”
“Ya, iya sih, tapi…,” aku tak
melanjutkan. Aku terdiam meskipun di ujung lidahku
terasa
masih berjuta tanya yang ingin aku lontarkan.
Aku tak hentinya berdoa dan meminta
petunjuk-Nya. Allah SWT selalu ada untuk hamba-Nya. Rasa
kekeliruan setiap manusia itu wajar dan itu sebagai tanda bahwa tanpa
pertolongan-Nya, kita tak berarti apa-apa. Seperti lirik lagu Mata
Hati yang ditulis Erry Band, “Kala manusia tak lagi kuasa, bagai sebutir debu yang tak berdaya.”
4. Pendapat Ayah
Bakda Isya adalah waktunya aku, bunda,
ayah, dan kakakku berkumpul. Setelah makan malam, kami semua berkumpul di depan
tivi. Bundaku memulai percakapan. Aku rasa hawa-hawa di rumah malam itu terasa
bagai ada setitik gerimis yang membahasahi tubuhku. Entahlah, aku sulit melukiskannya.
“Yah, Ulum mau serius sama Ade. Dia mau ngelamar Ade,”
ucap Bunda memulai percakapan malam itu. Kening ayahku mengerut. Ia terdiam
cukup lama.
“Ayah berpikir,
Ade itu harus kuliah hingga selesai, lalu kerja kemudian menikah,” ucap ayah
memulai pembicaraannya.
“Dan ayah berpikir, kakak dulu yang menikah baru Ade. Tapi,
apa boleh buat. Mungkin memang jodoh Ade lebih cepat. Jodoh itu kan Tuhan yang
ngatur,” ucap ayah melanjutkan. Aku hanya terdiam.
“Sekarang Ayah mau tanya ke Kakak. Emang Kaka mau dan ikhlas
dilangkah?” pertanyaan ayah sedikit membuat aku iba kepada kakakku.
“Kakak sih terserah Ade. Soalnya kan Ade yang nantinya
bakal ngejalani. Satu pesen Kakak, gimana pun caranya, Ade engga boleh putus
kuliah meski udah menikah,” jawab kakakku. Tulus sekali terdengarnya. Memang, inilah
yang selalu aku banggakan dari kakakku. Ia kakak terhebat, hanya satu-satunya
dan tak ada duanya.
“Kakak udah ngizinin Ade menikah duluan. Gimana dengan
Ade? Udah siap belum?” tanya bundaku.
“Insya Allah, Bun. Bismillah aja,” lirihku pelan.
Tapi jujur saja, aku melihat ada setitik air di kelopak mata
ayahku. Mungkin ayah sedih dan terharu mendengar anak bungsunya akan dilamar.
Dulu waktu aku masih menjadi santri, ayah selalu berkata, “Ade kapan lulus yah?
Ayah udah kangen kepengen Ade di rumah.”
Jodoh, rezeki, dan maut itu semua diatur
Allah SWT. Kita sebagai manusia tidak pernah tahu kapan semua itu terjadi.
Hanya sepenggal doa yang aku iringi untuk terus melangkah. Berusaha, doa dan
ikhtiar. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan jua yang menentukan.
“Meski Ayah hanya seorang pegawai biasa, Ayah engga
akan pernah lelah bekerja untuk membahagiakan anak-anak Ayah. Kalian itu
titipan yang harus dijaga. Tapi kamu harus ingat, jangan lupa untuk selalu
berdoa. Kehidupan itu harus diperjuangkan dengan keikhlasan serta ketulusan
hati,” ucap ayahku sambil membelaikan tangannya lembut di kepalaku.
Ayahku memang sosok yang tidak banyak
bicara, tapi selalu berusaha untuk ada ketika anak-anaknya membutuhkannya. Ia selalu
berusaha memenuhi keinginan anak-anaknya meski harus membanting-tulang dan
menguras keringat. Beliau adalah ayah terhebat sepanjang masa. Aku mencintai
ayah. Sungguh sangat. Meski senja sudah memasuki usianya, tapi semangat ayah
masih membara dan akan terus membara. Ia memang ayah terhebat di dunia.
5. LIFE IS NEVER FLAT
Life is never flat itu biasa. Memang hukum yang mutlak
dan semua orang pasti menyetujuinya. Tapi tergantung bagaimana kita
menyikapinya. Perbedaan itu pun adalah rahmatillah (kasih sayang Tuhan).
Perbedaan warna kulit, perbedaan suku, perbedaan prinsip itu wajar dan itu
indah karena jika semua sama maka tidak ada warnanya kehidupan ini, terasa
datar saja. Semua di dunia ini engga ada yang sempurna semuanya memiliki
kekurangan. Melengkapi satu sama lain itulah tugas kita. Seperti lagu Bekisar Merah,
“Tiada yang salah dengan perbedaan dan segala yang kita punya. Yang salah hanyalah
sudut pandang kita yang membuat kita terpisah. Karena tak seharusnya perbedaan
menjadi jurang
bukankah kita diciptakan untuk dapat saling melengkapi mengapa ini yang terjadi.”
Malam itu, masih teringat
jelas di memoriku. Aku sedang duduk di kursi. Tiba-tiba kakakku memanggilku.
Memang belakangan ini kakakku terlihat agak prihatin menjelang lamaran itu. Aku
jadi kaku.
“Kenapa, Kak ?” tanyaku setelah berjalan ke arahnya.
“Emang lo udah siap nikah? Umur lo masih muda,” pertanyaan
kakak jelas membuat aku kaget bukan main.
“Kenapa tiba-tiba Kaka nanya gitu?” aku balik bertanya.
“Jawab dulu pertanyaan gw, De.”
“Iya, Kak. Insya Allah Ade siap.”
“Bener? Jangan ragu-ragu, lo. Perjalanan lo masih
panjang. lo masih mempunyai banyak kesempatan untuk berkarya. Bisa menjamin engga
kalo lo tetep kuliah nanti?”
Ucapan kakak tepat mengenai hatiku sehingga membuat alirran
darahku seperti terhenti seketika. Seperti itulah gambarannya. Aku agak sedikit
goyah bak perahu yang mulai goyang terbawa ombak. Jujur saja, aku setuju dengan
pendapat kakak tapi menolak lamaran juga bukan jalan yang baik. Aku terdiam dan
aku meninggalkan kakak di teras. Aku ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Tapi
aku engga boleh putus asa. “Jangan jadikan perkataan yang
menyakitkan itu sebagai alasan kita untuk berhenti melangkah.” Aku terus berpikir,
mengapa kakak setega itu denganku. Awalnya dia sangat mendukungku dan
mengizinkan aku menikah duluan, tapi kenapa tiba-tiba dia seperti itu. Faktor
apa yang membuat dia berkata seperti itu.
“Kak, Ade.. mau.. bicara,” ucapku terbata-bata
saat melihat kakakku sedang santai di teras.
“Ada apa?” jawabnya sambil menggunting kuku.
“Ade siap kok, Kak, dan insya allah Ade akan tetep kuliah
dan tetap berkarya.”
“Sebenernya, gw mah terserah Lo dan gw tetep
dukung, tapi gw cuma takut Lo jadi males
kuliah. Kan sayang kalo zaman sekarang cuma lulusan aliyah
doang. Lo itu harus inget perjuangan ayah yang engga
pengen anak-anaknya cuma jadi lulusan SMA kaya ayah. Meskipun ayah cuma lulusan SMA, tapi ayah tuh
engga pengen kita ngikutin jejak beliau.” Penjelasan kakak ku jadi membuat aku
semakin sedih
“Iya, Kak. Kak Ulum juga bilang
gitu.“
“Ya udah. Sekarang kita semua
dukung. Tinggal diri lo aja gimana. Lo harus
pinter-pinter bagi waktu. Biasain dari sekarang!”
Pesan kakak menenangkanku. Aku jadi teringat kata-kata
guruku dulu waktu masih mondok. Ustaz Mukhtar pernah bilang, “Bapaknya insinyur
kemudian anaknya jadi insinyur juga itu udah biasa. Tapi, kalo bapaknya cuma
tukang becak terus anaknya jadi sarjana, itu yang luar biasa.”
Biar agak sedikit galak, tapi kakak ada
kalanya selalu benar. Cara dia membimbing adiknya memang unik, tapi itu bukti
bahwa dia tidak ingin adiknya lemah dan biar selalu semangat menjalani
kehidupan ini. Dan aku pikir, ini adalah bumbu kehidupan. Ada kalanya kita
mesti
sadar bahwa hidup itu tidak selamanya berjalan mulus. Selalu ada rintangannya. Ada
pepatah mengatakan bahwa “Life
is like a roller coaster. It has its ups and downs. But it’s your choice to
scream or enjoy the ride.”
6.
Sejuta Tanya
Aku memarkir motorku di samping
kampus. Ketika aku memasuki kelas, ternyata sudah banyak temanku yang datang.
Aku pun duduk di samping Sheren. Hampir satu jam kami menunggu dosen mengisi
materi kuliah pada pagi ini. Namun ternyata,
dosennya tidak bisa hadir karena ada halangan.
“Sher,
gw mau cerita nih,” ucapku saat kita berdua sedang makan siang di
kantin.
“Cerita apa?” tanya Sheren.
“Gw mau dilamar.”
“Hah? Dilamar?
Lamar apa nih? Lamar
buat nikah gitu?”
“Iya.”
“Ah,
bohong mulu lo
sama gw. Terus,
dia gimana?” tanyanya centik sambil melirikkan
matanya.
“Dia siapa?” aku balik bertanya.
“Itu tuh,
si itu, hahaha...”
Tawa
kita seketika meledak bersama.
Setelah makanan yang kami pesan sudah datang, aku dan dia kembali bercerita.
“Jadi
gimana awalnya kok tiba-tiba lo langsung bilang mau nikah? Pacaran juga lo
kayaknya engga kan sama calon lo?”
“Setelah
gw lepas dari dia, gw selalu yakin kalo Tuhan sedang menyiapkan seseorang yang
terbaik buat gw, cepat ataupun lambat. Gw yakin Tuhan memberikan apa yang kita
butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Bener kan?”
“Iya,
gw ngerti kalo masalah itu, tapi apakah secepat itu? Umur kita masih belasan
loh, Nid,” tanya Sheren.
“Calon
gw umurnya beda 10 tahun sama gw. Jadi gw bisa ngambil kesimpulan bahwa dia
bisa membimbing gw, melindungi gw. Bagi gw engga penting harta atau kedudukan,
tapi yang gw penting adalah agamanya yang
bisa nuntun gw kejalan syurga.”
“Ya itu
versi lo. Sekarang gw mau tau kenapa lo langsung mau gitu diajak nikah?” tanya
Sheren masih penasaran.
“Jodoh
Tuhan yang ngatur. Nikah itu ibadah. Kadang gw berpikir, ada baiknya juga nikah
muda,” jawabku.
“Apa
baiknya menurut lo?”
“Di usia
muda, gw udah jalan sama orang yang halal buat gw. Udah engga ada fitnah lagi
jika gw jalan berdua,” ucapku sambil melirikkan mataku pada foto dia yang
menjadi wallpaper handphoneku.
“Ah,
elo bisa aja, tapi iya bener sih. Jadi enak gitu yah, udah nyaman seratus
persen,” kata Sheren.
“Iya. Jodoh
itu di tangan Tuhan. Apa yang sekarang Tuhan beri maka patut kita syukuri
karena hidup itu karunia terindah.”
“Iya
sih, gw juga berfikir sepeti itu, mau cepet atau lambat pasti semua orang
merasakannya.”
“Kalo
dalam agama gw, ada sebuah hadis mengatakan bahwa seorang perempuan yang
menikah itu berarti satu kakinya sudah berada di syurga dan tinggal kaki yang
satunya lagi,” jelasku.
“Oh
gitu yah? Tapi lo tetep kuliah kan?”
“Iya gw
tetep kuliah kok dan doain aja semoga semua lancar tanpa hambatan,” pintaku padanya.
Tidak hanya satu atau dua orang
temanku yang mengatakan bahwa aku masih terlalu muda untuk menikah. Namun, aku
katakan bahwa semua Tuhan yang ngatur. Aku selalu bilang kepada mereka, “Jika
dia bisa nerima semua kekuranganku, maka dia sempurna untukku dan jika dia
mempunyai niat baik untuk meminangku, maka biarkan aku beristikharah.” Seperti
itulah kata-kata yang aku ungkapkan. Pro dan kontra pasti ada dan menurutku itu
wajar karena setiap manusia mempunyai jalan pemikiran yang berbeda. Bagiku, jika semua orang
di dunia ini mempunyai keinginan yang sama, maka tidak akan
ada warnanya. Perbedaan adalah rahmat dan kita dapat belajar
banyak darinya.
“Kamu udah istikharah belum?” tanya
temanku.
“Dari awal sejak dia
mengutarakan niat baiknya untuk melamarku, aku selalu berdoa dan memohon,” jawabku
teriring senyum.
“Iya bener. Tuhan lebih tahu mana yang baik
untuk hamba-Nya dan mana yang tidak baik. Ambil hikmah dari
sebuah perjalanan ini!”
“Ini adalah kejadian
yang sakral. Bagiku, pernikahan adalah sekali seumur hidup dan satu untuk
selamanya dan aku akan selalu mengikut sertakan Tuhan dalam setiap untaian
doaku,” ucapku.
Temanku tersenyum sambil
memelukku dan berkata, “Mabruk, alfu mabruk, yaa shoohibati.” Tak sadar, air mataku
pun menitik
satu per satu mencerminkan bahagia.
7.
Wonderful
Conversation
Pagi itu udara terlihat cerah. Tapi
sayang, aku tidak terlalu menyukai pemandangan di pagi hari. Aku lebih menyukai
pemandangan di malam hari, begitu memberiku berbagai inspirasi. Tiba-tiba
handphoneku bergetar.
“Halo, Assalamualaikum,” sapaku.
“Waalaikumusalam
Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab seseorang di sana.
Aku mengenal sekali itu suara siapa.
“Ada apa, Kak?” tanyaku.
“Ini bener Nida, kan?” tanya orang
di seberang sana.
“Iya bener ini Nida.
Ini Kak Ulum, kan?” tanyaku.
“Oh, bukan. Ini bukan Kak Ulum.”
“Terus siapa? Ah, bohong. Ini Kak Ulum, kan?” aku masih
saja ngotot.
“Bukan, Neng. Bukan salah lagi. Hahaha..” tawanya lepas
bebas. Ternyata dia ingin ngerjain aku. Aku tersenyum lepas.
“Kakak dengerin deh
lagu ini,” ucapku lalu
menyetel
lagu-lagu Chrisye untuk dia dengar. Setelah lagu-lagu Chrisye aku putar, aku
berkata, “Atau lagu ini, Kak, enak banget.”
Aku pun memutar lagunya Ebiet G Ade. “Atau ini, Kak, lagunya aduhai
sekali.” Kemudian aku memutar lagunya Vina Panduwinata. Aku yakin, pasti dia di sana
hanya bisa menggelengkan kepalanya mengikuti tingkah nakalku.
“Kamu suka
lagu-lagunya Chrisye??” nadanya bertanya seperti orang keheranan.
“Saya mah lebih suka
lagu 80-an, Kak,” jelasku.
“Lagunya Ebiet dan
Vina, kamu juga suka?”
“Iya. Hehehe.”
“Ada ya orang kaya
kamu, umur muda, jiwa muda, tapi sukanya lagu-lagu zaman dulu,” ucapnya.
“Waktu saya masih TK
tuh, ayah saya kalo beres-beres rumah sambil dengerin lagunya Ebiet, Kak. Makanya sampe
sekarang saya suka banget.” Aku tersenyum lebar
“Oh, gitu yah. Kalo Chrisye dan
Vina kenapa?” tanyanya lagi.
“Itu lagu-lagu Bunda saya yang
sering dinyanyiin kalo lagi nyuci piring, Kak. Hehehe,” canda
yang
ternyata mampu membuatnya tertawa lepas.
“Lucu juga, yah? Jadi karena itu
kamu lebih suka lagu-lagu zaman dulu, gitu?”
kelihatannya dia masih penasaran sekali dan terus bertanya.
“Selain itu, saya
suka karena liriknya itu penuh makna dan berkarakter, Kak, apalagi kalo
dipahami setiap kata-katanya.”
“Wah, wah, hebat kamu yah! Saya aja baru
denger nih dari anak seusia kamu yang suka lagu-lagu zamannya
kakek-nenek.”
“Kakak saya aja suka
aneh kalo denger saya lagi muterin lagu-lagunya mereka.”
“Pastilah orang aneh.
Biasanya
tuh anak seusia kamu lebih suka lagu-lagu cinta zaman sekarang.”
“Hehehe.” Aku hanya
tertawa
Memang setiap aku dan dia bercakap-cakap
melalui telepon lebih senang membahas kesukaan masing-masing. Dengan begitu, kita menjadi tahu
bagaimana karakter masing-masing. Aku yang tidak terlalu suka pergi ke tempat
ramai seperti pasar atau mal membuat dia benar-benar heran. Karena dia
sendiri lebih suka berada di tempat ramai oleh
pengunjung seperti mal. Meski begitu, kami tidak pernah
mempermasalahkannya karena ini adalah sebuah warna.
Berbicara tentang warna,
aku baru ingat dulu awal sekali aku bertemu dia, dia berkata kepadaku, “Kita boleh memberi
warna hidup kita kepada orang lain, tapi jangan sampai orang
lain mewarnai kehidupan kita. Itu Neng pesen Kiai.”
Banyak sekali pelajaran yang aku dapat
dari dia. Aku selalu bersyukur. Tak hentinya aku berterima kasih kepada Tuhan
yang telah mempertemukan aku dengan dia, di pertemuan yang baik dan mulia. Ini
menjadi awal yang berkesan untuk hidupku. Ini menjadi awal yang indah untuk
hidupku. Entah dengan apa lagi aku menunjukkan rasa syukurku yang sangat dalam.
Ini
adalah karunia terindah yang diberikan Tuhan untuk aku dan
hidupku.
8.
Happy Day
Hari ini adalah hari Sabtu, tepat
tanggal 11 Februari 2012. Aku tidak mampu untuk berkata-kata
karena hari ini adalah hari bahagiaku yang juga hari bahagia untuk dirinya.
Pagi itu, dia datang melamarku. Hal yang
paling dinanti oleh setiap wanita adalah waktu di mana ada seorang
pria yang ingin mengutarakan keseriusannya untuk menjalin mahligai rumah
tangga. Aku berasa seperti mimpi. Yah, aku seperti bermimpi.
Bagaimana tidak, di umurku yang ke-19 ini, aku sudah lebih
dulu merasakan hari yang istimewa. Di tengah perjalanannya, dia mengirim pesan
untukku. Pesan yang membuat aku seperti ada di musim semi.
“I love you, my queen.”
Pesan itulah yang aku terima. Pesan yang sederhana tapi mampu membuat senyum di
bibirku selalu mengembang. “I love you too,” balasku lirih meski hanya
di
dalam hati.
Aku tak bisa banyak bercerita mengenai
hari lamaran itu. Aku sungguh bahagia. Dan aku akan selamanya bahagia mengingat
hari itu. Setelah hari lamaran itu berlalu, yang aku lakukan adalah
menjaga kesehatan aku agar tetap vit di hari pernikahan
nanti. Karena akhir-akhir ini cuacanya selalu hujan yang bisa
menyebabkan pilek, batuk, dan pusing. Kebetulan juga
aku
hampir selalu kehujanan jika pulang dari kampus. Sebisa mungkin aku selalu
menjaga kesehatanku. Hingga menjelang hari pernikahan pun, aku tak pernah lelah
terus memohon kepada Yang Kuasa. Meski kala raga dan jiwa
tak mampu bergerak, namun hati nurani tak pernah berhenti mengadu pada
Sang
Ilahi.
Tuhan, jadikan kami hamba yang selalu
taat kepada-Mu. Ridhai hubungan kami
hingga maut memisahkan kami. Ridhai semua niat dan langkah
kami. Tuhan, hanya kepada-Mu kami semua berserah diri. “Rabbana hablanaa min azwadzinaa wa dhurriatina
qurrata a’yun waj ‘alnaa lilmuttaqina
imama.”
Amin.
9.
SPECIAL
GIFT FOR MY HUSBAND
Awal
aku mengenal sosok suamiku adalah
pada momen acara Lomba
Menulis Sosok KH Noer
Alie Pahlawan Nasional Asal Bekasi. Setelah sekian
lama berkomunikasi sederhana, timbullah rasa kasih dan sayang. Aku
membiarkannya seiring waktu berjalan. Tanpa henti aku selalu berdoa dan berdoa
supaya diberi petunjuk. Ya Allah, jika dia memang yang terbaik untukku, maka dekatkanlah hatinya dan dirinya denganku. Jika dia bukan yang terbaik untukku, maka damaikanlah hatiku dengan ketentuan-Mu.
Proses
antara aku dan suamiku termasuk dalam bilangan yang cepat. Akhir November aku
bertemu suamiku. Setelah tiga hari
bertemu, suamiku mengutarakan ketertarikan dan kenyamanannya saat
bertemu denganku kepada bundaku. Awal Februari suamiku melamarku hingga bulan
Maret langsung mengadakan akad nikah sekaligus resepsi. Hanya berjalan dua
bulan aku mengenalnya lebih dekat.
Kisah berikut
mungkin mengilhami perjalanan kami.
Pada
suatu hari,
Aristoteles bertanya kepada gurunya, “Apakah cinta sejati itu?”
Gurunya pun menjawab, “Berjalanlah lurus di taman bunga yang luas, kemudian petiklah satu bunga terindah dan jangan
pernah berbalik ke belakang!”
Kemudian
dia pun
melakukannya, tapi dia kembali dengan tangan hampa. Gurunya pun bertanya, “Mana bungannya?”
Dia
menjawab, “Saya
tidak bisa mendapatkannya. Sebenarnya
saya telah menemukannya, tapi
di depan saya masih ada yang lebih bagus dan lebih baik lagi. Ketika
saya sampai di ujung taman, saya baru sadar bahwa yang saya temui pertama tadi
itulah yang terbaik. Tapi saya tidak bisa kembali ke belakang lagi karena sudah
ada yang mengambilnya”.
Gurunya
pun berkata, “Seperti
itulah cinta sejati. Semakin
kamu mencari yang terbaik,
maka kamu tak akan pernah menemukannya. Jangan
pernah menyia-nyiakan cinta seseorang yang tumbuh di hatimu saat ini karena
waktu tak akan pernah kembali.”
Sekarang,
dengan dukungan dari bunda, ayah, kakak, dan sanak
keluarga, serta
teman-temanku, aku mengucap bismillah.
Ini awal aku menempuh hidup baru. Seperti lirik lagu Nuke, “Lupakan
cerita kelabu. Kita susun lagi langkah baru.” Aku seperti bermimpi
dapat bersanding dengan suamiku.
Pria hebat yang pernah aku jumpai. Pria yang ingin menghabiskan sisa hidupnya
bersamaku. Pria yang akan menjadi imam untukku dan keluargaku. Pria yang akan
menjadi seorang ayah untuk anak-anakku. Pria yang akan menjadi penuntun aku dan
anak-anakku
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Terimakasih Tuhan atas karunia terindah
yang Engkau berikan untukku.
Aku ingin mengucapkan banyak terima
kasih kepada Kakakku tercinta, Annisa, yang dengan tulus ikhlas memberikan
izinnya, yang tetap tersenyum meski aku yang harus lebih dulu menempuh hidup
baru. “Kakakku,
senyummu akan selalu terlukis dalam hatiku. Kerendahan hatimu menjadi jembatan untuk
kebahagiaanku.”
Aku
juga ingin mengucapkan rasa sayang tak terhingga untuk kedua orang tuaku. Untuk
bundaku yang tak pernah bosan mendengarkan keluh kesah dan
semua cerita hidupku.
Untuk ayahku yang selalu mengajariku untuk senantiasa
berusaha, bersabar, dan bertawakal menjalani hidup ini. Ayah dan bunda, you’re my everything.
Back to special gift for my husband.
Aku sangat mencintaimu, my husband. Kado sederhana
yang indah dariku untukmu adalah sebuah buku yang sederhana ini. Di sini aku menceritakan kisah kita kepada semua
orang yang hadir di acara pernikahan kita. Aku hanya bisa memberikan ini. Aku
berusaha menyempatkan diri untuk menuliskan kisah kita di tengah aktivitas
kuliahku.
Hanya
ini yang bisa kupersembahkan sebagai kado ulang tahun untukmu, dan juga untuk
kado pernikahan kita. Karena tepat
tanggal 3 Maret 2012 adalah hari ulang tahunmu
yang ke 29. Di hari
ini pula acara pernikahan kita
diadakan.
“Selamat
ulang tahun, my husband. Semoga ini menjadi awal yang penuh berkah untuk kita selamanya. Aku sangat mencintaimu, suamiku.”
Akhirnya, dengan mengucap, “Hadza min
fadhli rabbi,” ini adalah karunia terindah dari Allah SWT dan kami akan selalu bergandeng
erat menuju masa depan yang bahagia.
Thank you for
your
attendance
at
our
event.
Your
prayers
are
very valuable
to
us.
Souvenir Pernikahan Kedua mempelai “Nida
dan
Ulum”
Salam NU
Subhanallah , Masyaallah , tabarakaallah !! (Y)
BalasHapusTHIS IS THE BEST STORY !!!
PERFECT MOMENT ! tersendu-sendu bacanya best :'(
amin amin amin, makasih yaaa best atas coment nya :)
Hapus